Proyek Tino dari Bagdad menyajikan sebuah narasi yang melintasi batas antara puisi dan ruang publik. Di dalamnya, Tino bukan sekadar karakter — ia adalah medium. Melalui gabungan teknik tradisional seperti engraving tembaga dan puppet theatre, serta praktik modern seperti augmented reality (AR), pencipta menuliskan kembali ikhtisar spiritualitas dan pengorbanan artistik menjadi pengalaman kota yang dapat diakses publik.
1. Bayangan di Senja
Episode pembuka memanfaatkan tekstur tembaga sebagai metafora kulit sejarah; setiap goresan menandai memori kolektif. Pencahayaan diatur sedemikian rupa sehingga figur Tino tampak muncul dan lenyap — memberi kesan bahwa puisi itu sendiri bernapas.
2. Tirai Suara
Dalam "Tirai Suara", boneka-boneka tanpa mulut menyoroti konsep perwujudan suara melalui medium lain. Penggunaan lapisan audio tersembunyi yang hanya dapat diakses melalui pemindaian QR mempermainkan ide kepemilikan suara — bahwa suara bisa diwariskan, dipinjam, atau direkonstruksi.
"Karya ini menegaskan kembali bahwa ruang publik dapat menjadi kitab yang terbuka bagi pembacaan siapa pun."
3. Kota Sebagai Kanvas
Transformasi halte, dinding, dan trotoar menjadi titik-titik instalasi menjadikan penonton sebagai pejalan yang berpartisipasi. Ini adalah estetika yang berakar pada tradisi flâneur, tetapi diperbarui oleh teknologi yang memungkinkan tiap titik memicu narasi visual tersendiri.
4. Litani Malam Terakhir
Episode penutup menggabungkan gema suara dan proyeksi bayangan air yang menari — simbol akhir hidup kreatif. Pengorbanan artistik, dalam uraian ini, bukan akhir yang sia-sia melainkan sakralitas penciptaan yang meninggalkan jejak abadi.
5. Simbolisme & Teknik
Proyek ini menarik dari tradisi ekspresionisme Jerman sekaligus estetika Timur Tengah, menghasilkan bahasa visual yang kaya akan metafora. Engraving tembaga mewakili ketahanan, puppet theatre menandai kemanusiaan yang rapuh, dan AR menjadi jembatan antara masa lalu serta kemungkinan masa depan.
6. Kritik & Relevansi Kontemporer
Beberapa kritik menyebut proyek ini terlalu bergantung pada nostalgia estetis, namun paduan teknik tradisional dan digital menghadirkan cara baru bagi publik untuk bertemu seni. Relevansinya terletak pada kemampuannya memaksa kita berjalan — secara harfiah — melalui teks, gambar, dan suara.
Penutup
Tino dari Bagdad mengajak kita memahami karya seni bukan hanya sebagai objek estetis tetapi sebagai pengalaman kolektif yang terus berubah saat disentuh oleh penonton. Ini adalah pameran yang mengundang interpretasi ulang setiap kali seseorang menelusuri rute kota yang telah ditentukan.